Gema Baiturrahman Online



Gema Baiturrahman Online


Posted: 24 Mar 2011 05:07 PM PDT
Khatib : Ust. Syarifuddin, MA., Ph.D

Salah satu lembaga pendidikan tertua di Aceh adalah dayah. Kata dayah berasal dari bahasa Arab zawiyah, yang secara literal bermakna sudut. Ini diyakini oleh masyarakat Aceh pertama sekali digunakan menyebut sudut masjid Madinah ketika nabi memberi pelajaran kepada para shahabat di awal Islam.

Pada abad pertengahan, kata zawiyah dipahami sebagai pusat agama dan kehidupan sufi yang kebiasaannya menghabiskan waktu di perantauan. Kadang-kadang lembaga ini dibangun menjadi sekolah agama. Pada waktu-waktu tertentu juga dijadikan sebagai pondok bagi pencari kehidupan spiritual.

Perspektif sejarah
Sejak Islam menapak di Aceh hingga tahun 1903, tidak ada lembaga pendidikan di Aceh kecuali dayah. Dayah lah yang mendidik rakyat Aceh pada masa lalu sehingga mampu menjadi raja, menteri, panglima militer, ulama, ahli teknologi perkapalan, pertanian, dan sebagainya.

Ulama, bagi masyarakat Aceh sering dipanggil abu atau teungku. Secara kultural, abu atau teungku merupakan orang-orang tamatan dayah, atau setidaknya pernah belajar di lingkungan dayah. Untuk kultur Aceh, dayah masih dipandang sebagai soko guru pendidikan agama dan keulamaan. Posisi ulama di Aceh tidak hanya sebagai orang-orang yang berilmu tinggi, tetapi juga sebagai pemimpin-pemimpin dan panglima perang. Mereka juga selalu dapat membuat interpretasi situasional berdasarkan nilai agama.

Ketika Iskandar Muda memerintah Kerajaan Islam Aceh Darussalam (1607-1636), dia memilih Syeikh Syamsuddin al-Sumatrani sebagai penasehatnya dan sebagai mufti yang bertanggungjawab dalam urusan keagamaan. Nuruddin Ar-Raniri dipilih sebagai Qadhi al-Malik al-Adil dan Mufti Muaddam pada periode Sultan Iskandar Tsani. Ulama ini bertugas tidak hanya dalam bidang agama, tetapi juga dalam ekonomi dan politik. Syeikh 'Abdul Rauf al-Singkili di tetapkan sebagai Mufti dan Qadhi Malik al-Adil Kerajaan Islam Aceh selama periode empat orang ratu di Aceh. Abdul Rauf sudah banyak meninggalkan jasanya dalam menyelesaikan konflik-konflik masyarakat Aceh (Hasbi: 2008).

Konteks kesejarahan di atas memberikan kemungkinan-kemungkinan menarik dalam perkembangan dayah. Pendidikan dayah merupakan latar belakang pendidikan yang mampu membentuk pola pikir dan prilaku santri serta masyarakatnya. Ini adalah fakta yang menunjukkan kebutuhan riil masyarakat akan peran partisipatif pendidikan dayah dalam menjawab problematika dan tantangan modernitas.

Salah satu sisi penting masa kini adalah respon dayah terhadap di kalangan masyarakat Aceh kontemporer. Apa yang dilakukan sebuah lembaga pendidikan Islam, dianggap "tradisional" dalam merespon perubahan-perubahan yang sedang terjadi di sekelilingnya. Perubahan ini baik dalam konteks yang luas seperti perubahan sosial politik lokal maupun nasional, atau perubahan dalam bentuk strategi dan muatan baru dalam dunia pendidikan dan pengajaran. Termasuk dalam hal kurikulum pendidikan dengan segala perubahan dan penyesuaiannya.

Menjawab Tantangan
Ada beberapa hal yang dapat dilakukan dalam menjawab tantangan modernitas dunia pendidikan. Pertama, perlunya proses reorientasi ulama dayah. Ulama dayah adalah tokoh kunci dalam kemajuan sebuah dayah itu sendiri. Sebagai public figure dalam komunitas masyarakat lokal, ulama dayah haruslah memiliki karakter kepemimpinan dan penguasaan ilmu agama yang tinggi. Ulama dayah dianggap sebagai culture symbol dan tokoh yang jadi panutan masyarakat dalam hukum-hukum Islam.

Kedua, harapan masyarakat umum agar pendidikan dayah tetap menjalankan peran pentingnya dalam transmisi ilmu-ilmu dan pengetahuan Islam, pemeliharaan tradisi Islam dan reproduksi calin-calon ulama. Ketiga, dayah dituntun mampu memberikan perhatian pada penguatan keterampilan santri dan keahlian (life skill) pada bidang-bidang sains dan teknologi yang menjadi karakter dan ciri masa globalisasi.

Keempat, perlu terobosan keterlibatan dayah dalam program-program non-kependidikan seperti pengembangan dayah sebagai pusat koperasi, pusat pengembangan teknologi tepat guna bagi masyarakat pedesaan, pusat pengembangan pertanian dan peternakan, pusat penyelamatan lingkungan hidup, pusat pengembangan HAM dan demokrasi. Dan terakhir, penguatan kelembagaan dan manajemen dayah. Adanya Badan Pembinaan dan Pendidikan Dayah, berdasarkan qanun nomor 5 Pemerintahan Aceh, mengharuskan dayah untuk memperkuat dan memberdayakan kelembagaan dan pengembangan manajemen, yang bertitiktolak pada prinsip-prinsip kemandirian (otonom), akuntabilitas dan kredibilitas, yang sudah diterapkan di lembaga-lembaga pendidikan lain, agaknya dapat pula mulai dikaji dan dikembangkan di lingkungan pendidikan dayah.

Meski dayah menghadapi berbagai tantangan, peluang bagi pendidikan dayah jelas masih tetap besar. Pendidikan dayah harus berperan aktif menjawab tantangan dan tuntutan modernitas sesuai dengan perkembangan dan pembangunan masyarakat. Wallahu a'lam bish-shawab.


Posted: 24 Mar 2011 05:04 PM PDT
Merujuk kepada sejarah Kerajaan Islam Pereulak, dayah secara historis telah ada sejak abad IX masehi. Keberadaan dayah di Aceh hadir bersamaan dengan masuknya Islam ke Aceh pada akhir masa kekhalifahan Usman bin Affan.

Sebagai lembaga pendidikan tertua, dayah banyak berperan memberikan kontribusi besar dalam perkembangan masyarakat Aceh, tidak hanya dalam persoalan pendidikan, tetapi juga pada persoalan lain yang dihadapi masyarakat. Dayah pernah menjadi benteng pertahanan saat melawan penjajahan Belanda dan Jepang. Dayah menjadi tempat berlindung saat Aceh didera konflik berkepanjangan. Dayah juga berperan sebagai pusat rehabilitasi bagi mereka yang terkena narkoba atau sejenisnya.

Orang yang belajar di dayah sering disebut dengan istilah meudagang. Ini menunjukkan sebuah harapan besar kepada para santri agar nantinya mereka menghasilkan sesuatu yang berharga dan bermanfaat, seperti yang dihasilkan oleh orang yang berdagang. Harapan besar itu, mungkin, berupa kamapanan dalam hidup, baik dari segi SDM maupun financial. Santri (baca: murid) diharapkan mandiri seperti halnya orang meudagang.

Istilah meudagang ini juga menunjukkan upaya dayah dalam memerangi kemiskinan. Peran dayah dalam pemberantasan kemiskinan dimulai dari komitmen dayah menjadi agent of development (agen pembangunan). Peran ini dibuktikan oleh pimpinan-pimpinan dayah tempo dulu. Mereka, para pimpinan dayah, mampu menyumbang hal terbaik dalam kehidupan masyarakat kala itu, bahkan untuk anak cucu kemudian hari.

Melihat perkembangan sekarang, dayah mulai berusaha ke arah pengembangan ekonomi dan penyediaan lapangan kerja. Dayah menyiapkan tenaga kerja terdidik. Ini ditandai dengan munculnya perguruan tinggi di beberapa dayah salafi.

Dayah memang lembaga pendidikan tradisional, namun aksinya diharapkan lebih modern dalam memberikan problem solving (pemecahan masalah) dari setiap permasalahan yang dihadapi ummat, termasuk persoalan kemiskinan dan upaya pengentasannya. Dayah bisa juga memberi solusi terhadap problem pengangguran dengan mengembangkan kewirausahaan di kalangan santri. Sejarah membuktikan, kontribusi dayah dalam upaya pengentasan kemiskinan dan pengangguran telah dimulai sejak lembaga ini mulai eksis.

Dayah terus berusaha mengembangkan potensi ekonomi, kapasitas dan keterampilan santri. Usaha ini dilakukan agar alumni dayah tidak hanya mahir membaca kitab kuning, tetapi juga mapan dalam segala bidang,. termasuk bidang ekonomi, sehingga istilah meudagang yang dilabelkan pada santri benar-benar nyata dan berbuah hasil. Bisa saja dayah melahirkan ulama yang saudagar atau saudagar yang ulama. rizarahmi



Posted: 24 Mar 2011 05:00 PM PDT
Oleh Murizal Hamzah

Salah satu kelemahan umat Islam sekarang yakni kurang tertarik atau peduli pada kegiatan bisnis. Kita cenderung berlomba-lomba menjadi pegawai negari sipil. Untuk meraih ambisi sebagai abdi negara, langkah sogok alias suap pun dilakukan. Padahal jelas Islam sudah menyatakan penyuap dan disuap hukunmya haram. Dengan demikian, hasil dari sogok-menyogok juga haram digunakan.

Berbondong menjadi pegawai negeri tidaklah salah. Namun mengabaikan perkara perdagangan kepada pihak lain adalah sebuah langkah kemunduran. Sebab jika kita menilik kehidupan para nabi-nabi, sebagian besar mereka adalah para pedagang juga seperti Rasulullah. Muhammad SAW adalah pengusaha yang jujur sehingga disegani dan disenangi oleh konsumen. Sering kita mendengar pintu-pintu rezeki terbesar berasal dari perdagangan alias bisnis.

Semangat menjadi pengusaha atau bernaluri bisnis mesti selalu digelorakan. Pada masa penjajahan Belanda hingga orde lama, pengasuh dayah adalah seorang ulama yang juga saudagar. Mereka memiliki kilang padi atau tambak untuk menunjang operasional dayah. Dengan demikian, dayah bisa mandiri. Tidak menjadi tangan di bawah karena rajin mengirim proposal bantuan ke berbagai donatur.

Dayah adalah sebuah kekuatan yang sudah teruji sejak era kolonial Belanda hingga detik ini. Malahan jelang pemilu, dayah adalah ladang suara untuk kandidat bupati hingga gubernur. Berbagai taburan janji dilontarkan agar para santri dengan petunjuk dari teungku-teungku bisa menusuk calon. Hal ini sangat wajar sebab dayah di Serambi Mekkah menjadi garda depan dalam berbagai perubahan politik. Harap dicatat, Aceh memiliki sekitar 700 dayah dan 600 balai pengajian.

Nah jika satu dayah bisa menghidupkan diri sendiri melalui koperasi sembako atau dalam bentuk usaha lain, Insya Allah dayah-dayah sudah mardeka dari pengaruh kebijakan pemberi bantuan atau ikatan emosional finansial. Pengurus dayah tidak gampang diajak ke partai tertentu karena memiliki modal yang kuat untuk hidup mandiri. Dalam bahasa lain, dayah berani menyatakan tidak kepada pihak lain jika bertentangan dengan dinul Islam.

Hidupkan dayah dan jangan cari hidup di dayah. Jargon ini mesti ditandu oleh kalangan dayah beserta organsiasi dayah. Dengan ribuan santriwan dan santriwati, maka koperasi yang menjual kebutuhan sehari-hari akan meraih laba yang keuntungan untuk biaya operasional dayah. Untuk hal ini, pengurus koperasi sembako atau koperasi kelapa sawit yang dikelola oleh santri-santri mesti menerapkan manajemen sifat Rasulullah seperti jujur atau cerdas.

Para santri berkesempatan belajar mandiri dan wirausaha di dayah-dayah. Mereka tidak perlu lagi membeli sayur-mayur atau telur karena hal ini bisa dilakukan di dayah sebagai bagian dari pelajaran ekonomi atau pertanian. Alangkah nikmatnya hidup jika bisa makan dari tangan yang kita tanam sendiri.

Untuk hal ini tidak perlu banyak ceramah atau kuliah umum. Instansi yang mengurus dayah yakni Badan Pembinaan Pendidikan Dayah Provinsi Aceh lebih elok memperlihatkan contoh dayah atau pesantren baik yang di Aceh atau luar. Dengan studi banding, pengurus dayah dan santri bisa mengamati lebih jelas manajemen yang diterapkan. Umat Islam tidak bisa memilah-milah ini urusan dunia dan akhirat sebab segala aktivitas yang dilakukan bermuara pada keikhlasa dan keridhan dari Allah. Artinya, apa yang dilakukan di dunia ini adalah bekal atau amunisi untuk Hari Kemudian.

Dayah butuh modal besar untuk membenah dayah dari berbagai kelemahan termasuk sumber daya manusia yakni teungku-teungku. Termasuk modal mengubah pemikiran-pemikiran warisan Snouch Hurgronje yang masih merajalela di segelintir dayah.



Posted: 24 Mar 2011 04:56 PM PDT
Oleh : Mukhlisuddin Ilyas, M.Pd

Sejak tahun 2006 secara serius saya mengamati kajian-kajian ilmiah seputar dayah di Aceh. Sebelum itu saya hanya terlibat dalam diskusi-diskusi ringan, disamping karena banyak juga kawan-kawan yang memiliki latar belakang pendidikan dayah yang memberi informasi. Jadilah dayah sebagai bidang kajian yang menarik untuk ditelaah dalam upaya memaksimalkan potensi dayah agar lebih mandiri dan kokoh di segi ekonominya.

Dayah tradisonal adalah lembaga sosial dan keagamaan yang dibangun berdasarkan kebutuhan masyarakat akan pendidikan keagamaan untuk anak-anak. Awalnya dayah dibangun oleh masyarakat secara swadaya. Kemudian hak dan aksesibilitas masyarakat terhadap dayah semakin tinggi, terutama sebagai tempat memperoleh ilmu pendidikan keagamaan, membangun pembangunan, mewakafkan harta dan lainnya.

Dayah memiliki banyak potensi untuk lepas dari ketergantungan pada pemerintah. Menurut saya, ada beberapa potensi besar yang dimiliki dayah agar lebih eksis dan mandiri. Pertama, pemanfaatan lahan hibah. Kecenderungan masyarakat Aceh, terutama yang mendiami kawasan pesisir, adalah menghibahkan hartanya yang diprioritaskan kepada dayah. Lahan hibah ini nantinya dapat dioptimalisasi oleh murid dan pengurus dayah untuk menggerakkan perekonomian dayah.

Kedua, membangun koperasi berbasis dayah setiap kabupaten/kota. Koperasi berbasis dayah ini akan membawa dampak domino. Bukan hanya elemen dayah, tapi juga masyarakat sekitar untuk melakukan transaksi.

Ketiga, optimalisasi kerjasama antar dayah. Sebagaimana kita ketahui, dayah memiliki jaringan atau guru yang berbeda-beda. Sudah seharusnya di saat tuntutan global makin dahsyat, untuk merapat barisan memperkuat basis jaringan ekonomi secara komprehensif dengan cara meniadakan cara pandang kesukuan dan mazhab.

Di luar itu, banyak poin lain yang bisa dilakukan untuk memandirikan dayah. Termasuk adanya advokasi kepada eksekutif dan legislatif untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang berdampak langsung atau tidak terhadap kemandirian ekonomi dayah kedepan.

UU keistimewaan Aceh
Dalam catatan saya, kemandirian dayah di Aceh sudah mulai disinggung mulai tahun 1999 dalam undang-undang keistimewaan Aceh nomor 44 tahun 1999. Kemudian undang-undang nomor 18 tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Propinsi NAD dan Kewenangan Provinsi Sebagai Daerah Otonom, dan terakhir undang-undang nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Semua dasar hukum itu mengisyaratkan supaya pemerintah memperhatikan dayah, dengan tidak melupakan kemandirian dayah dalam faktor ekonomi dalam jangka panjang.

Awal mula, pemberian bantuan kepada dayah digagas oleh Gubernur Abdullah Puteh pada tahun 2003. Sebelum itu tidak pernah ada yang mengatur sistem dukungan kepada dayah. Dukungan pemerintah kepada dayah bukan hanya membawa nilai positif. Akibat bantuan ini, banyak potensi yang seharusnya bisa digarap dan dikembangkan untuk kemajuan ekonomi dayah malah tidak lagi dilakukan. Salah satu pengelola dayah, Tgk Faisal Ali, ketika saya berbincang dengannya pada tahun 2008 menuturkan, dampak jangka panjang dari kebijakan pemerintah Aceh terhadap dayah adalah hilangnya sikap sosial dari masyarakat untuk membantu eksistensi proses belajar mengajar di dayah dengan kemandirian ekonominya.

Masyarakat tidak peduli dengan sistem yang diimplimentasikan di dayah, karena dayah sudah menjadi wilayah birokrasi pemerintah. Serta pudarnya rasa memiliki terhadap dayah karena pemerintah sudah mengeluarkan regulasi bahwa semua dayah harus memiliki landasan hukum (akte notaris). Dengan adanya intervensi pemerintah, terkesan adanya sebuah pembatas antara dayah dengan masyarakat. Karena dayah harus bersikap birokratis dan formal. Hal ini mencederai sikap masyarakat yang tidak menyukai birokrasi dan cenderung apa adanya. Akhirnya akan ada jurang pemisah antara rakyat dengan dayah.

Untuk itu, kemandirian dayah dalam segi ekonomi harus dikontruksi ulang. Supaya dayah dengan basis ekonomi yang mandiri dan kuat, menjadi lembaga independen dan berwibawa dalam misi mencerdaskan anak bangsa dengan konsep rahmatan lil alamin. Tanpa ada pihak mana pun yang dapat melakukan intervensi kepada kaum dayah. Apalagi menjadikan kaum dayah sebagai ladang politik para politisi busuk yang terus bertebaran mendekati Pemilukada ini. Semoga.


Share this

Related Posts

Previous
Next Post »